



Jajaran tokoh wayang pun bertukar posisi. Sayangnya, pertunjukan wayang yang saya tonton kala itu keluar dari pakemnya dengan menghadapkan dalang bersama kelompok karawitan di hadapan penonton. Jajaran wayang dibagi menjadi dua di sisi kanan diisi para kesatria dan di sisi kiri diisi para angkara murka. Idealnya, pertunjukan wayang dimainkan dari balik kelir atau layar besar berwana putih, sementara di belakangnya disorotkan cahaya dari blencong atau lampu minyak, sehingga penonton dapat melihat figur-figur pewayangan yang dimainkan dalang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. “Wayang”, “wayangan”, atau “ayang-ayang” adalah istilah bagi “bayangan” dalam Bahasa Jawa. Pengandaian Socrates di atas mengingatkan saya pada pertunjukan wayang kulit yang sempat saya nikmati sewaktu kecil. Sehingga bayang-bayang benda yang muncul pada dinding gua di hadapan para tahanan tersebut dipersepsikan sebagai satu-satunya realita bagi para tahanan gua. Di belakang dinding tempat para tahanan dirantai, terdapat pancaran sinar obor yang dilalui oleh iring-iringan para pembawa benda. Para tahanan ini dirantai pergelangan tangan dan lehernya pada sebuah dinding dalam kondisi tetap, sehingga mereka tidak dapat melihat satu sama lain, bahkan dirinya sendiri. Pada alegori gua yang ditulis Plato dalam buku Republic, Socrates meminta Glaucon untuk membayangkan tentang sekelompok tahanan yang sepanjang hidupnya terbelenggu di dasar gua.
